29 ORGANISA PERS PONDASI BERDIRINYA LEMBAGA DEWAN PERS

Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. Menghormati hak privasi;
c. Tidak menyuap;
d. Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
(Kode Etik Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/ Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers)

Penguatan Peran Dewan Pers


MUKADIMAH
Dewan Pers independen mendapat mandat dan amanat dari Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk mengembangkan serta menjaga kemerdekaan atau kebebasan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional serta melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.
b. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
c. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
d. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
e. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
f. Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
g. Mendata perusahaan pers.
Kriteria bagi para anggota Dewan Pers, yang terdiri atas unsur-unsur wartawan, pimpinan perusahaan pers, dan tokoh masyarakat, ditetapkan dalam statuta Dewan Pers sebagai berikut:
a. Memahami kehidupan pers nasional dan mendukung kebebasan pers berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia.
b. Memiliki integritas pribadi.
c. Memiliki sense of objectivity dan sense of fairness.
d. Memiliki pengalaman yang luas tentang demokrasi, kemerdekaan pers, mekanisme kerja jurnalistik, ahli di bidang pers dan atau hukum di bidang pers.
Para anggota Dewan Pers diseleksi berdasarkan hasil pemilihan oleh organisasi-organisasi wartawan dan organisasi-organisasi perusahaan pers, dan dipilih:
a. sebagai penjaga kemerdekaan dan etika pers;
b. sebagai individu profesional yang independen; dan
c. sebagai pemikir dan fasilitator kebijakan tentang pers.
Untuk merealisasikan mandat dan amanat serta fungsi-fungsi dan wawasan seperti tersebut di atas, maka diperlukan usaha-usaha untuk mengoptimalkan peran Dewan Pers dengan melaksanakan upaya-upaya dan tugas-tugas yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Konstituen Dewan Pers mencakup wilayah kerja Dewan Pers, yaitu media pers, baik cetak maupun elektronik, yang memuat atau menyiarkan karya jurnalistik.
2. Dewan Pers dapat mendirikan perwakilan di sejumlah ibu kota provinsi yang sarat media, seperti Medan, Surabaya, Samarinda, Denpasar, Makassar, dll. Perwakilan Dewan Pers di daerah memiliki paling banyak lima orang wakil.
a. Perwakilan ini berfungsi memperlancar penyaluran pengaduan publik terhadap pemberitaan media pers di wilayah kerjanya ke Dewan Pers.
b. Perwakilan ini memberi saran-saran kepada Dewan Pers tentang penyelesaian sengketa akibat pemberitaan antara publik dan media pers di wilayah kerjanya.
c. Perwakilan ini tidak memiliki kewenangan membuat putusan tentang sengketa akibat pemberitaan antara publik dan media pers, tetapi dapat diikutsertakan dalam sidang-sidang Dewan Pers yang membahas sengketa akibat pemberitaan di wilayah kerjanya.
d. Perwakilan ini menyampaikan informasi kepada Dewan Pers tentang permasalahan media pers yang berkembang di wilayah kerjanya.
e. Penunjukan dan pengangkatan wakil Dewan Pers tersebut dilakukan oleh pengurus Dewan Pers di Jakarta berdasarkan kriteria keanggotaan Dewan Pers yang tercantum dalam statuta Dewan Pers berikut ini:
1) Memahami kehidupan pers nasional dan mendukung kebebasan pers berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia.
2) Memiliki integritas pribadi.
3) Memiliki sense of objectivity dan sense of fairness.
4) Memiliki pengalaman yang luas tentang demokrasi, kemerdekaan pers, mekanisme kerja jurnalistik, ahli di bidang pers dan atau hukum di bidang pers.
3. Mekanisme pemilihan anggota Dewan Pers adalah sebagai berikut:
a. Pencalonan dilakukan oleh organisasi-organisasi pers yang terdaftar di Dewan Pers.
b. Pemilihan atas calon-calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh organisasiorganisasi pers tersebut dilakukan oleh Badan Pekerja Dewan Pers bersama anggota Dewan Pers.
c. Badan Pekerja Dewan Pers terdiri atas sedikitnya lima orang dan paling banyak sembilan orang wakil organisasi-organisasi pers yang lolos verifikasi Dewan Pers. Keanggotaan Dewan Pers terdiri atas masing-masing 3 orang mewakili unsur masyarakat, unsur wartawan, dan unsur perusahaan pers.
4. Dewan Pers memperoleh dana dari negara, organisasi pers (organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers), perusahaan pers, dan bantuan lain yang tidak mengikat.
5. Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers dalam penyusunan:
a. Kode Etik Jurnalistik.
b. Kode perilaku (code of conduct) wartawan untuk peliputan soal-soal khusus yang dapat menimbulkan keluhan atau pengaduan publik, seperti kekerasan terhadap perempuan, kriminalitas, dan konflik dalam masyarakat yang berkaitan dengan masalah suku, ras, agama, atau hak asasi manusia.
c. Standar kompetensi wartawan.
d. Standar organisasi wartawan.
e. Standar perusahaan pers (termasuk standar permodalan).
f. Standar organisasi perusahaan pers
g. Standar gaji wartawan dan karyawan pers.
h. Hal-hal lain yang terkait dengan pengembangan pers.
6. Dewan Pers mendukung dan mendorong upaya-upaya penggunaan Undang-Undang no 40/1999 tentang Pers dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan pers. Dewan Pers perlu mengingatkan kepada pihak Kepolisian untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Bab II Pasal 4 Ayat
(2), bahwa “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, dan pelarangan penyiaran.”
7. Dewan Pers mendukung dan mendorong pengembangan lembaga ombudsman di media pers untuk memperlancar penyelesaian sengketa akibat pemberitaan media yang bersangkutan dengan subjek berita dan mendorong profesionalisme media tersebut.
8. Dewan Pers mendukung dan mendorong pengembangan lembaga pemantau media pers (media watch) dalam masyarakat sebagai upaya publik untuk turut mengamati dan mengawasi kinerja media pers. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Bab VII Pasal 17 tentang Peran Serta Masyarakat, menyatakan sebagai berikut:
a. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
b. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
1) Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
2) Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
9. Dewan Pers melanjutkan pengkajian terhadap peraturan hukum dan perundangundangan yang pasal-pasalnya dapat menghambat atau mengekang kebebasan pers serta menyiapkan rekomendasi yang relevan, seperti:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana),
b. Undang-Undang Hak Cipta,
c. Undang-Undang Penyiaran,
d. Undang-Undang Perseroan Terbatas,
e. Undang-Undang Kepailitan,
f. Undang-Undang Telekomunikasi,
g. Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
h. Undang-Undang Anti-Monopoli,
i. Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya,
j. Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara,
k. Rancangan Undang-Undang Intelijen,
l. Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik,
m. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi (dan Korban),
n. Rancangan Undang-Undang KUHPidana,
o. Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi,
p. Undang-Undang Ketenagakerjaan,
q. UU Organisasi Kemasyarakat,
r. UU Penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
s. UU Mediasi dan Arbitrase,
t. UU Otonomi Daerah,
u. UU Perpajakan,
v. UU Penyelenggara Negara yang bebas KKN,
w. UU Jamsostek,
x. UU Narkotika dan Psikotropika,
y. dan peraturan perundangan lain yang relevan.
10. Dewan Pers perlu terus mendorong berlakunya pasal-pasal hukum yang mendukung dekriminalisasi terhadap karya jurnalistik (tidak menganggap pelanggaran hukum dalam karya jurnalistik sebagai kejahatan) dengan cara antara lain:
a. Mendesak dan menuntut penghapusan (atau: tidak menggunakan) sejumlah pasal KUHPidana serta perundang-undangan lain yang mengenakan sanksi pidana terhadap karya jurnalistik; dan atau
b. Memindahkan pasal-pasal hukum demikian ke KUHPerdata; dan atau
c. Memperlakukan pasal-pasal hukum tersebut sebagai pasal-pasal hukum perdata;
d. Dan penerapan sanksi perdata terhadap karya jurnalistik hendaknya berupa denda proporsional, yaitu denda yang tidak menyulitkan kehidupan pihak pembayar denda atau membangkrutkan perusahaan yang harus membayar denda, karena putusan hukum yang berakibat demikian serupa dengan putusan politik berupa pemberedelan terhadap media pers.
11. Dewan Pers perlu terus mengupayakan lahirnya ketetapan hukum dari Mahkamah Agung untuk menjadi lembaga arbitrase, demi memperkuat kedudukan Dewan Pers sebagai lembaga yang terlibat dalam penyelesaian sengketa akibat pemberitaan antara publik dan media pers.
12. Dewan Pers menyosialisasikan bahwa pemberitaan yang dengan sengaja dirancang untuk memfitnah, memeras, atau merugikan subjek berita bukanlah karya jurnalistik, melainkan tindak kejahatan. Dalam terminologi pers, pemberitaan semacam itu dapat dikategorikan sebagai “kabar yang sejak awal penulisan dan pemuatan atau penyiaran sudah diketahui bohong,” salah satu pelanggaran kode etik jurnalistik yang paling berat – dengan hukuman moral bahwa yang bersangkutan harus meninggalkan karier jurnalistik dan pers untuk selama-lamanya.
13. Dewan Pers memberikan pertimbangan, antara lain sebagai saksi ahli, kepada aparat penegak hukum mengenai karya jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik untuk menentukan apakah kasus yang dilaporkan masyarakat adalah karya jurnalistik atau bukan.
14. Perusahaan pers atau wartawannya dapat meminta pendapat kepada Dewan Pers apabila terjadi perselisihan pendapat dalam penafsiran pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia:
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI); Abdul Manan
2. Aliansi Wartawan Independen (AWI); Alex Sutejo
3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI); Uni Z Lubis
4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI); OK. Syahyan Budiwahyu
5. Asosiasi Wartawan Kota (AWK); Dasmir Ali Malayoe
6. Federasi Serikat Pewarta; Masfendi
7. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI); Fowa’a Hia
8. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI); RE Hermawan S
9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI); Syahril A
10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI); Bekti Nugroho
11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAP HAMBA); Boyke M. Nainggolan
12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI); Kasmarios SmHk
13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI); M. Suprapto
14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI); Sakata Barus
15. Komite Wartawan Indonesia (KWI); Herman Sanggam
16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI); A.M. Syarifuddin
17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI); Hans Max Kawengian
18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI); Hasnul Amar
19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI); Ismed Hasan Putro
20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI); Wina Armada Sukardi
21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI); Andi A. Mallarangan
22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK); Jaja Suparja Ramli
23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI); Ramses Ramona S.
24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI); Ev. Robinson Togap Siagian
25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI); Rusli
26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat; Mahtum Mastoem
27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS); Laode Hazirun
28 Serikat Wartawan Indonesia (SWI); Daniel Chandra
29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII); Gunarso Kusumodiningrat

Standar Perlindungan Profesi Wartawan


KEMERDEKAAN menyatakan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dihilangkan dan harus dihormati. Rakyat Indonesia telah memilih dan berketetapan hati melindungi kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat itu dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat dan bagian penting dari kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat. Wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas profesinya wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Untuk itu Standar Perlindungan Profesi Wartawan ini dibuat:
1. Perlindungan yang diatur dalam standar ini adalah perlindungan hukum untuk wartawan yang menaati kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi;
2. Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan memperoleh perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Tugas jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui media massa;
3. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun;
4. Karya jurnalistik wartawan dilindungi dari segala bentuk penyensoran;
5. Wartawan yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konflik wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan kepentingan penugasannya;
6. Dalam penugasan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata, wartawan yang telah menunjukkan identitas sebagai wartawan dan tidak menggunakan identitas pihak yang bertikai, wajib diperlakukan sebagai pihak yang netral dan diberikan perlindungan hukum sehingga dilarang diintimidasi, disandera, disiksa, dianiaya, apalagi dibunuh;
7. Dalam perkara yang menyangkut karya jurnalistik, perusahaan pers diwakili oleh penanggungjawabnya;
8. Dalam kesaksian perkara yang menyangkut karya jurnalistik, penanggungjawabnya hanya dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan. Wartawan dapat menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi;
9. Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku.
Jakarta, 25 April 2008
(Standar ini disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, lembaga terkait, serta Dewan Pers di Jakarta, 25 April 2008. Sebelum disahkan, draft Standar Perlindungan Profesi Wartawan telah dibahas melalui serangkaian diskusi yang digelar Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) UU No.40/1999 tentang Pers yaitu “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan”)
[/tab]
[tab]

Standar Perusahaan Pers

Lampiran:
PERATURAN DEWAN PERS
Nomor: 4/Peraturan-DP/III/2008
tentang
STANDAR PERUSAHAAN PERS
Sebagai wahana komunikasi massa, pelaksana kegiatan jurnalistik, penyebar informasi dan pembentuk opini, pers harus dapat melaksanakan asas, fungsi, kewajiban, dan peranannya demi terwujudnya kemerdekaan pers yang profesional berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Untuk mewujudkan kemerdekaan pers yang profesional maka disusunlah standar sebagai pedoman perusahaan pers agar pers mampu menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, serta sebagai lembaga ekonomi.
1. Yang dimaksud perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi.
2. Perusahaan pers berbadan hukum perseroan terbatas dan badan-badan hukum yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Perusahaan pers harus mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwenang.
4. Perusahaan pers memiliki komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
5. Perusahaan pers memiliki modal dasar sekurang-kurangnya sebesar Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) atau ditentukan oleh Peraturan Dewan Pers.
6. Perusahaan pers memiliki kemampuan keuangan yang cukup untuk menjalankan kegiatan perusahaan secara teratur sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan.
7. Penambahan modal asing pada perusahaan pers media cetak dilakukan melalui pasar modal dan tidak boleh mencapai mayoritas, untuk media penyiaran tidak boleh lebih dari 20% dari seluruh modal.
8. Perusahaan pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurangkurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun.
9. Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.
10. Perusahaan pers wajib memberikan perlindungan hukum kepada wartawan dan karyawannya yang sedang menjalankan tugas perusahaan.
11. Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.
12. Perusahaan pers memberikan pendidikan dan atau pelatihan kepada wartawan dan karyawannya untuk meningkatkan profesionalisme.
13. Pemutusan hubungan kerja wartawan dan karyawan perusahaan pers tidak boleh bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers dan harus mengikuti Undang-Undang Ketenagakerjaan.
14. Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk media cetak ditambah dengan nama dan alamat percetakan. Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan.
15. Perusahaan pers yang sudah 6 (enam) bulan berturut-turut tidak melakukan kegiatan usaha pers secara teratur dinyatakan bukan perusahaan pers dan kartu pers yang dikeluarkannya tidak berlaku lagi.
16. Industri pornografi yang menggunakan format dan sarana media massa yang sematamata untuk membangkitkan nafsu birahi bukan perusahaan pers.
17. Perusahaan pers media cetak diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran diverifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Jakarta, 6 Desember 2007
(Standar ini disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, serta Dewan Pers di Jakarta, 6 Desember 2007. Sebelum disahkan, draft Standar Perusahaan Pers telah dibahas melalui serangkaian diskusi yang digelar Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) UU No.40/1999 tentang Pers yaitu “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan”)

Post a Comment

0 Comments