Warisan budaya nenek moyang di lereng Lawu (Bag 1 ) Candi Cetho

 



Candi Cetho merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang peninggalan Kerajaan Majapahit di masa akhir kekuasaan Prabu Wijaya V . candi yang bercorak agama Hindu ini diperkirakan selesai  dibangun pada tahun 1475 M ( sekitar 1397 saka). Ini diketahui berdasarkan prasasti yang ditulis  dengan huruf jawa kuno  di dinding gapura  dan merupakan salah satu candi yang tertinggi di Indonesia. Relief di candi ini memiliki bentuk dan dan gaya seni masa klasik muda, hal ini terlihat dari penggambaran tokoh yang tidak proporsional pada reliefnya. Berbeda dengan relief pada candi-candi dari masa Jawa Tengah pada era 8 sampai 11 Masehi. Yang dimana Relief pada masa Jawa Timur ini terlihat lebih 2 dimensi, mirip dengan karakter-karakter wayang.


Candi ini terletak digunung lawu dengan ketinggian sekitar 1496 meter diatas permukaan laut menjadikannya destinasi wisata yang menyenangkan dengan suasana yang sejuk dan pemandangan indah.


Candi Cetho terletak di dukuh cetho desa gameng  kecamatan Jenawi kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. selain sebagai tempat wisata, Candi Cetho juga berfungsi sebagai tempat upacara adat maupun keagamaan oleh masyarakat yang beragama hindu.
Umumnya warisan budaya seperti candi  yang terletak di jawa sebagian besar telah ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. , namun tidak dengan Candi Cetho ini. peninggalan arkeologi yang bersifat living monument yang biasa ada di bali ternyata ada di lereng lawu ini dan justru berkembang.

Masyarakatr sekitar candi cetho yang mayoritas beragama Hindu, menjadikan Candi Cetho sebagai tempat suci mereka. segalah kegiatan keagamaan dipusatkan disana. Diantaranya hariraya Galungan, Kuningan, Siwaratri, saraswati nyepi dan lainnya. 

upacara hari raya galungan di candi cetho

Selain upacara upacara keagamaan umat hindu , juga diselenggarakan upacara adat Mondosiyo di candi ini. Upacara ini dimaknai sebagai penghormatan terhadap leluhur dan untuk mempererat hubungan harmonis antarwarga yang diselenggarakan tiap wuku selasa kliwon wuku manndasiya atau setahun 2x. Dikisahkan upacara ini untuk memperingati Ki Ageng Krincing Wesu, yakni leluhur warga desa cetho dan juga bertujuan untuk Bersih Aura Dusun dan Candi Cetho. Seluruh masyarakat dusun mengikuti ritual tanpa memandang perbedaan agama. 
upacara mondosiyo

Sejarah candi Cetho

Candi Cetho pertama kali oleh sejarahwan Belanda bernama Van de Vlies. Ia menemukan Candi Cetho di tahun 1842. Selain Van de Vlies, terdapat beberapa sejarahwan dan ahli lainnya yang telah melakukan penelitian terhadap Candi Cetho yakni A.J. Bennet Kempers, K.C. Crucq, W.F. Sutterheim, N.J. Krom dan Riboet Darmosoetopo yang berkebangsaan Indonesia.

Candi Cetho memiliki arsitektur unik berupa 13 punden berundak. Sejarah Candi Cetho dibangun dengan material batu andesit dengan memakai relief yang sederhana, tidak seperti Candi Hindu lain yang memiliki relief yang cukup kompleks. Candi Cetho memiliki arsitektur yang mirip dengan candi Suku Maya di Meksiko dan Suku Inca di Peru. Patung yang terdapat di candi ini pun bila dilihat tidak mirip dengan orang Jawa melainkan mirip dengan orang Sumeria atau Romawi yang memiliki kuping besar dan bentuk kepala besar.


Susunan bangunan candi Cetho 

Setelah dipugar pada tahun 1970-an yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi Suharto (presiden kedua Indonesia) yang mengubah banyak struktur asli candi hingga tinggal sembilan tingkatan berundak. 

Teras 1


terdapat bangunan tanpa dinding yang di dalamnya ada susunan batu untuk menaruh sesajian dan sepasang arca Nyai Agni

Teras 2

terdapat susunan batu membentuk garuda terbang.

Uniknya, di bagian punggung garuda ada susunan batu yang membentuk kura-kura dan di atas kepalanya ada susunan batu berbentuk matahari bersinar, segitiga sama kaki, dan arca Kalacakra atau kelamin laki-laki.

Burung garuda diyakini sebagai kendaraan Wisnu yang melambangkan dunia atas, sedangkan kura-kura menjadi simbol dunia bawah. Sedangkan keberadaan Kalacakra ini yang membuat Candi Cetho disebut sebagai candi lanang atau lelaki.

Teras 3


ada susunan batu membentuk segi empat dan di dindingnya tampak relief dengan tema Kidung Sudamala bergambar hewan dan manusia. 

Teras 4


Terdapat sepasang arca Bima yang tampak sedang menjaga tangga batu menuju teras ke lima.

Teras 5


Terdapat sepasang bangunan yang disebut pendapa luar

Teras 6


Terdapat arca Kalacakra dan sepasang arca Ganesha.

Teras 7


Terdapat halaman yang dikelilingi dinding batu dan terdapat pendapa dalam

Teras 8


Terdapat tangga yang diapit pula oleh dua buah arca dengan relief. Relief yang tertulis dalam arca ini adalah tulisan jawa berupa angka tahun pembangunan candi. Dari sinilah diketahui umur dari Candi Cetho ini

Teras 9


Terdapat ruang penyimpanan benda-benda kuno, seperti arca Sabdapalon dan Nayagenggong

Teras 10


terdapat arca Prabu Brawijaya, arca Kalacakra, dan tempat penyimpanan pusaka Empu Supa, seorang pembuat senjata pusaka yang dihormati.

Teras 11


Merupakan candi utama . Di bagian atasnya digunakan tempat berdoa oleh umat Hindu pada hari-hari tertentu. Di atas Candi terdapat ruang utama berbentuk kubus setinggi hampir 2 m, dengan luas sekitar 5 m². Ruang utama ini yang merupakan pesanggrahan Prabu Brawijaya.

Itulah sekilas tentang candi cetho, salah satu peninggalan nenek moyang kita yang harus kita lestarikan.
















 


Post a Comment

0 Comments