Luwu – Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam transaksi jual beli tanah yang melibatkan Kepala Desa (Kades) Karang-Karangan, Kabupaten Luwu, mendapat sorotan dari berbagai pihak. Kades tersebut diduga meminta pungutan sebesar Rp25 juta atas transaksi jual beli lahan milik warga bernama Sose warga lamone, kecamatan Bua, kabupaten Luwu dengan seorang pengusaha properti asal kota Palopo, Sutomo, pemilik perusahaan SHM. Kejadian ini dilaporkan terjadi pada Minggu (23/2/2025).


Informasi yang diperoleh dari narasumber yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa permintaan pungli tersebut dilakukan secara bertahap. “Awalnya Pak Desa ASB meminta Rp10 juta untuk biaya administrasi pengesahan, namun kemudian meminta tambahan lagi setelah pelunasan sebesar Rp15 juta,” ujarnya.


Tanah yang diperjualbelikan tersebut merupakan lahan milik Sose' yang berlokasi di lamone, kecamatan Bua, kabupaten Luwu provinsi Sulawesi Selatan (eks lahan PT. Seven Energi), yang sebelumnya dikelola oleh warga negara asing asal Korea, Mr. Shin, sekitar tahun 2007. Lahan tersebut memiliki status alas hak berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) atas nama Sose' warga lamone desa karang karangan, kecamatan Bua, kabupaten Luwu dengan luas sekitar 8.000 meter persegi. Harga transaksi jual beli antara Sose' dan Sutomo disepakati sebesar Rp140 ribu per meter persegi, dengan sistem pembayaran bertahap. Dari hasil penjualan tanah ini, keuntungan dibagi antara Sose' dan Mr. Shin.


Kasus ini semakin menguatkan dugaan adanya praktik mafia tanah yang melibatkan oknum aparat desa. Kepala Desa Karang-Karangan yang diduga terlibat dalam praktik ini berinisial Asb.


Dalam hukum Indonesia, perbuatan melawan hukum terkait pemerasan dan mafia tanah yang melibatkan oknum kepala desa dapat dijerat dengan beberapa pasal dalam KUHP, UU Tipikor, serta peraturan lain yang relevan. Berikut pasal-pasal yang mengaturnya:


KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)


-  Pasal 368 KUHP : Pemerasan Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, atau membuat perjanjian utang, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.


-  Pasal 423 KUHP : Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat Seorang pejabat yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, dipidana penjara maksimal 6 tahun.


-  Pasal 55 dan 56 KUHP : Ikut Terlibat dalam Tindak Pidana Siapa pun yang membantu, menyuruh, atau turut serta dalam kejahatan (termasuk mafia tanah), bisa dikenakan hukuman yang sama dengan pelaku utama.


UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)


-  Pasal 2 dan 3 UU Tipikor : Penyalahgunaan Wewenang yang Merugikan Negara Jika oknum kepala desa melakukan pemerasan atau manipulasi dalam pengurusan tanah dan merugikan keuangan negara, ia bisa dijerat dengan ancaman penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.


-  Pasal 12 Huruf e UU Tipikor : Pemerasan oleh Pejabat Publik Pejabat yang memeras atau meminta sesuatu dengan alasan kewenangan yang dimilikinya dapat dipidana penjara 4 hingga 20 tahun.


UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru (Akan Berlaku Penuh Tahun 2026)


-  Pasal 603 dan 604 : Tindak Pidana Korupsi Mengatur secara lebih spesifik soal penyalahgunaan jabatan dan tindakan merugikan negara yang dapat dikenakan hukuman lebih berat.


UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)


Jika kepala desa terlibat dalam manipulasi sertifikat tanah, jual-beli ilegal, atau mafia tanah, ia bisa dikenakan sanksi administratif hingga pidana sesuai dengan aturan pertanahan.


Banyak kasus mafia tanah yang melibatkan oknum kepala desa, seperti pemalsuan dokumen, penggelapan tanah desa, atau penyalahgunaan wewenang dalam pengurusan sertifikat tanah. Kasus-kasus ini umumnya diusut oleh Polri, KPK, dan Kejaksaan.


Menanggapi kasus tersebut, aktivis Luwu Raya, Syarif Al-Dhin, menegaskan bahwa praktik ini merupakan tindak pidana yang harus diproses secara hukum. “Pihak kami akan melaporkan temuan ini ke Aparat Penegak Hukum (APH) untuk dapat ditindaklanjuti,” ujarnya.


Masyarakat berharap agar dugaan praktik pungli yang dilakukan oleh Kades Karang-Karangan ini dapat diusut tuntas, dan pelaku diberikan sanksi sesuai hukum yang berlaku guna memberikan efek jera serta mencegah kejadian serupa di kemudian hari. (TIM/Red)