Bali|Pantau Terkini |Tanda ‘x’ dalam judul pameran ini tidak hanya menguatkan makna suatu pertemuan atau dialog, tapi juga peleburan visi artistik dua sosok yang telah lama malang melintang  dalam kancah  kesenian  di  Indonesia.

Ketika menggarap  proyek  ini, Hanafi dan GM masing-masing berusia 57 dan 76 tahun. Lukisan-lukisan  dalam  57 x 76  dikerjakan dengan  prosedur yang  khusus:  Hanafi memulai  dengan kanvas atau kertas yang telah ia lukis, lalu memberikannya kepada GM untuk diteruskan.

Demikian pula, GM menyerahkan kertas atau kanvas yang sudah ia lukis untuk Hanafi respons. Hanya satudua kali Hanafi dan GM ‘melukis bersama’ di satu tempat. Sebagian besar karya dalam proyek ini mereka selesaikan di studio masing-masing, tanpa tatap muka satu sama lain.

Selama beberapa bulan, kolaborasi ini menghasilkan ratusan lukisan dan gambar. Penyelesaian satu lembar kertas atau kanvas lebih sering terjadi dalam satu putaran.

Dengan saling membuka diri terhadap respon atau ‘intervensi’, baik Hanafi maupun GM sebetulnya tengah membongkar batas-batas gagasan personal masing-masing.

Pola  penciptaan lukisan menjadi tidak linear karena keduanya harus bekerja dari permulaan yang tak terduga, yang sering  tak sepenuhnya  mereka  fahami  atau kuasai.

Pada tahap  akhir, baik Hanafi  maupun  GM harus pasrah menerima kejutan-kejutan, ketika  bentuk yang masing-masing bayangkan di awal mengalami pergeseran, perluasan, hingga perubahan-perubahan besar.

Kurator pameran Agung Hujatnikajennong menyebut kolaborasi Hanafi dan GM sebagai proyek yang bersifat aleatoris (latin, aleator: pelempar dadu) yang bertumpu pada ketidakmenentuan atau kebetulan yang acak.

Aleatorisme, sebagai sebuah metode kolaborasi artistik, menganggap ketakterdugaan sebagai sesuatu yang mengatasi determinasi kesadaran dan kehendak subjek.

Dalam proyek ini, kolaborasi menjadi subversi atas paradigma artistik yang menempatkan individu sebagai pusat penciptaan.

Proyek  57  x  76  ini tentu tidak akan terjadi tanpa adanya  saling pengertian di antara Hanafi dan GM. “Tapi yang lebih menarik adalah bagaimana proyek kolaborasi ini tidak terlalu bertumpu pada diskusi-diskusi, apalagi perdebatan, yang berkepanjangan di antara kedua seniman.  57  x  76 seperti tengah mengajarkan bagaimana  dua orang seniman dapat memunculkan wilayah irisan gagasan dan pemikiran yang subjektif, melalui gambar, simbol dan tanda-tanda, dan tentu saja sikap terbuka, saling belajar dan respek satu sama lain. Hirarki kesenimanan hilang.

Tak ada lagi Hanafi dan GM sebagai individu dalam karya-karya ini,” kata Agung.  Menikmati lukisanlukisan dalam  57 x 76  lebih pas jika diibaratkan dengan mendengarkan sebuah ‘kontrapung’ (counterpoint): hasil dari suatu jukstaposisi dari dua atau lebih (rangkaian) nada dari satu atau lebih jenis instrument musik yang dihadirkan secara bersamaan.   

Pameran  57 x 76, yang terselenggara atas kerja sama antara Komaneka Fine Art Gallery dan Studiohanafi ini, adalah kelanjutan dari pameran dengan tajuk yang sama, yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 2018

Tentang Hanafi dan Goenawan Mohamad Hanafi  (lahir di Purworejo, 5 Juli 1960) dikenal luas sebagai pelukis, meskipun bekerja selama puluhan tahun dengan media-media artistik yang beragam.

Lulus dari Sekolah Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta pada 1979, Hanafi terlibat dalam puluhan pameran tunggal dan kelompok di dalam dan luar negeri sejak awal 1990-an.

Ia termasuk seniman yang paling sering berkolaborasi dengan praktisi seni lain, terutama dari sastra, teater dan arsitektur. Pameran tunggalnya antara lain: The Maritime Spice Road (Konsulat Jenderal New York, Amerika Serikat, 2017); Pintu Belakang  | Derau Jawa (Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2016); Migrasi Kolong Meja (Komaneka Fine Art Gallery, Ubud, 2013), dan; Of Spaces and Shadows (Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 2009). Goenawan Mohamad (GM, lahir di Batang, 29 Juli 1941) adalah seorang penyair, esais, jurnalis dan dramawan.

Gemar menggambar sejak kecil, GM mulai aktif berpameran tunggal dan kelompok sejak 2016. Meminati persoalan-persoalan seni dan budaya secara luas, GM banyak menulis esai tentang seni rupa.

Beberapa pameran tunggalnya, antara lain, Kata, Gambar (Dia Lo Gue, Jakarta, 2017); Another Stage (Aksara, Jakarta, 2017), dan; Don Quixiote dan Hal-hal yang Belum Sudah (Galeri Semarang, Semarang, 2019). Baru-baru ini GM menerbitkan buku kumpulan esai seni rupanya, Pigura tanpa Penjara (2019).