Jakarta, pantauterkini.co.id-Restrukturisasi bisnis dan peningkatan performa melalui pembentukan holding BUMN Migas perlu ditinjau secara objektif dan mendalam dari berbagai perspektif. Sehingga rencana Kementerian BUMN tersebut tidak bertentangan dengan kontitusi akibat terlalu terburu-buru.
“Holding BUMN Migas harus mempertimbangkan tiga aspek secara matang, yakni kemanfaatan, keadilan, dan aspek legalitias atau kepastian hukum,” ujar Darmadi Durianto di Senayan Jakarta, Senin (29/1/2018).
Peninjauan itu, kata Darmadi Durianto, dapat dilakukan dengan memakai metode _eagle view_, sehingga dapat melihat semuanya secara detail. Hal ini dapat memberikan pemikiran yang lebih tajam di setiap bidang sehingga dapat memperoleh solusi yang jauh lebih baik.
“Dalam pasal 33 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 secara tegas menyatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, sehingga keberadaan BUMN dalam perekonomian nasional merupakan amanat dan implementasi Undang-Undang,” jelas Koordinator Komite Perekonomian DPP PDI Perjuangan itu.
Menurut Darmadi, korporasi bisnis tidak dapat menjadi pertimbangan utama bagi BUMN yang khusus mengelola sumber daya alam, karena ada hak penguasaan negara. Hal ini dengan tegas telah dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah memberikan tafsir tentang hubungan BUMN dengan hak penguasaan negara.
“Perlu diketahui, saat ini UU Migas masih dibahas oleh DPR, karena holding BUMN Migas saling terkait dengan UU Migas maka harus menunggu rampung,” ucap dia.
“Negara kita kan negara hukum, sudah semestinya semua pihak tanpa terkecuali menghormati dan patuh terhadap hukum dan perundang-undangan yang berlaku,” tambah Darmadi.
Terkait saham dwiwarna dalam holding BUMN, kata Darmadi, ini juga tidak memiliki dasar hukum yang kuat, sebab kewenangannya secara hukum ekseting sangat terbatas.
“Jika ada pernyataan yang mengatakan bahwa penyertaan saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lain dengan menjadikannya Perseroan Terbatas tidak menghilangkan kendali negara terhadap perseroan tersebut karena keberadaan saham dwiwarna, jelas tidak berdasarkan Undang-Undang. Secara implisit keberadaan saham dwiwarna belum diatur dalam Undang-Undang,” paparnya.
Kemudian, lanjut dia, mencalonkan atau menetapkan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris pun tidak serta merta memegang pengendalian perseroan, karena kekuasaan tertitinggi adalah RUPS.
“Harus mengamandemen dahulu Undang-Undang No.19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan Undang-undang No.40 Tahun 2007 Tentang PT. Jika tidak, itu namanya tidak ada dasar hukumnya. Sehingga menjadi penting setiap keputusan yang akan diambil wajib berkonsultasi dengan DPR," pungkas Bendahara Umum Megawati Institute ini.(Viktor)
0 Comments